Laman

Minggu, 04 September 2016

Proses Kreatif Dewi Lestari oleh Ruth Claudia Thamrin 00000013078

PROSES KREATIF DEWI LESTARI




Dewi Lestari, yang biasa akrab disebut Dee Lestari adalah seorang penulis yang berasal dari Indonesia yang lahir di Bandung, 20 Januari 1976. Karya-karyanya sangat dekat dengan hati para pembaca. Dari karya-karyanya, Dee dikenal memiliki ketajaman berpikir dan analisis yang tinggi. Dee awalnya bukanlah seorang penulis, melainkan seorang penyanyi. Dee pun beralih dari profesi bernyanyi kepada dunia tulis-menulis.

Karena Dee awalnya adalah seorang penyanyi, Dee menganggap popularitas awal buku karyanya cukup dipengaruhi oleh sosoknya yang adalah seseorang yang mengambil bagian dalam media hiburan. Jadi ketika awal Dee menulis buku, Dee mendaapatkan liputan media hiburan, yang penulis-penulis lain mungkin tidak dapatkan. Tapi pada akhirnya, isi tulisanlah yang berpengaruh pada laris atau tidaknya buku. Dee menambahkan, apabila hanya faktor sensasi, maka tidak akan bertahan lama, karena orang-orang membeli buku karena isi. Dee berkata, mungkin Dee menulis sesuatu yang dapat dimengerti dan dihidupi oleh banyak orang.

Novel pertama yang diterbitkan pada tahun 2001 berjudul Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh sukses dan berhasil menarik perhatian para penggemar. Saat ini Dee sudah banyak menerbitkan buku-buku karyanya, seperti Supernova Dua dengan judul Akar pada 16 Oktober 2002, Supernova Tiga dengan judul Petir pada 2005, Rectoverso pada 2008, Perahu Kertas pada tahun 2009 yang akhirnya juga dijadikan film, serta lanjutan serial Supernova yang berjudul Partikel pada tahun 2012. Karya-karyanya konsisten dan berprinsip. Mungkin karena itulah, Dee Lestari sangat disukai oleh banyak sekali pembaca. Dee Lestari ternyata juga menyenangi filosofi, dapat diketahui dari bukunya yang berjudul Filosofi Kopi pada tahun 2006.

Bagi Dee, menulis adalah suatu kebutuhan, sehingga Dee menyebutkan bahwa menulis sifatnya adalah  theurapetic. Sama seperti kebutuhan untuk berkomunikasi, begitulah kebutuhan Dee dalam menulis. Dee berkata, dalam menulis yang diajak berkomunikasi adalah diri sendiri dan ala kreativitas. Sebagian besar dari karya Dee Lestari diambil dari perenungan, Dee mengatakan bahwa seorang penulis memang harus menjadi pengamat yang baik. Dee mulai menulis sedari kecil. Tepatnya ketika ia masih kelas 5 SD. Karyanya waktu itu adalah tulisan berjudul “Rumahku indah sekali” namun sayang sekali, tulisan itu tidak diselesaikan karena buku catatan Dee sudah habis kala itu. Sedari dulu Dee memang punya dorongan kuat untuk mengkhayal, membayangkan dunia lain, menyusun alur cerita, dan sebagainya. Dee memiiki kakak-kakak yang memang senang membaca, dari situlah Dee kebagian untuk membaca buku-buku mereka. Hal tersebut jugalah yang mendorong Dee untuk menulis fiksi.

Dalam proses menjadi penulis, Dee menemukan dan mengalami banyak keajaiban. Meskipun Dee bukanlah lulusan pendidikan sastra, namun kecintaan dan tekadnya terhadap dunia menulis berhasil mengantarkan Dee ditempat dimana Dee berada sekarang. Dee memiliki prinsip jangan pernah meremehkan sebuah tulisan dan harus berani dalam menulis. Menurutnya, karya itu seolah-olah punya garis takdir, degup kehidupan, dan keinginan sendiri.

Dalam dunia kepenulisan Dee Lestari, Dee berkata bahwa ada penulis-penulis yang berpengaruh baginya, seperti Sapardi Djoko Damono karena berpengaruh dalam penulisan lirik dan membuat irama kata. Dee juga menyukai Seno Gumira Ajidarma, karena mampu membuat tulisan yang hidup dan Ayu Utami, karena ketekunannya dalam mengulik bahasa.
Saat ini saat Dee Lestari ingin menulis, Dee mengaku sengaja menyisihkan waktu subuh-subuh sebelum orang-orang di rumahnya terbangun. Bagi Dee, syarat utama menulis, terlepas pagi atau malam, adalah keheningan dan tidak diganggu. Jadi kapanpun Dee memiliki kualitas waktu tersebut, akan dimanfaatkannya untuk menulis. Dee juga ternyata menyenangi tempat-tempat sepi untuk menulis karena distraksinya rendah. Namun Dee berkata, apabila terpaksa, Dee bisa juga menulis di tempat yang ramai yang penting tidak diajak ngobrol dan diinterupsi. Ketika Dee sudah mengalir didalam proses kreatif, Dee mengaku bahwa ia sudah tidak perduli dengan keadaan sekitarnya.

Dee berkata, jika sedang menulis ia tidak sambil mendengarkan musik. Berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya dimana ia sempat menyukai menulis sambil mendengarkan musik. Dee berkata tidak memiliki masalah dengan ada atau tidaknya musik ketika sedang menulis, asal musiknya adalah musik instrumental, karena jika memakai musik yang berlirik, bisa mendistraksi.

Dalam menulis karya-karyanya, tentu saja Dee pernah mengalami waktu-waktu dimana kemacetan saat menulis terjadi. Dee mengatakan bahwa seringkali, ia membiarkan saja writer’s block tersebut hilang dengan sendirinya. Disaat-saat seperti itu, Dee lebih senang untuk memanfaatkan waktunya untuk beristirahat. Menurut Dee, menulis menguras stamina mental dan batin, jadi ketika writer’s block terjadi, Dee memilih untuk tidak memikirkan tulisannya dahulu dan memikirkan hal-hal yang lain. Dee percaya bahwa jika idenya kuat, maka ide tersebut akan kembali. Jika idenya tidak kuat, Dee akan mencari ide-ide yang baru. Jadi menurut Dee, konsep ‘survival of the fittest’ itu juga berlaku untuk masalah ide.

Bagi Dee, penulis yang baik adalah  penulis yang mau memperkaya referensi dan berani bereksperimen, juga yang jujur pada dirinya sendiri dan berkomitmen untuk terus berkarya.
Sampai saat ini, Dee Lestari masih dalam proses penulisan karya-karyanya yang lain. Semoga Dee Lestari terus dapat berkarya bagi sastra Indonesia.

1 komentar:

  1. terimakasih info nya sangat bermanfaat, jangan lupa kunjungi kami http://bit.ly/2wFUPf3

    BalasHapus